Kamis, 2 Mei 2024

Regsosek 2022, Berharap Bantuan Sosial Tersalurkan pada Perempuan Nelayan

Diunggah pada : 31 Oktober 2022 18:57:35 100
Masnuah, dari Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari saat menyampaikan materinya di acara Regsosek Talk: Generasi Muda Membangun Negeri, di Hotel Westin Jakarta, pada Senin (31/10/2022).

Jatim Newsroom – Adanya program pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) tahun 2022 menjadi titik terang bagi para perempuan nelayan Indonesia yang berharap identitas profesinya diakui di KTP. Tak hanya itu, bantuan sosial pemerintah juga diharapkan dapat tersampaikan secara langsung kepada mereka.

Hal ini disampaikan Pendiri Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari Indonesia, Masnuah, pada acara Regsosek Talk bertajuk ‘Generasi Muda Membangun Negeri’,  Senin (31/10/2022).

Masnuah menceritakan, pada tahun 2005 Komunitas Nelayan Perempuan Puspita Bahari didirikan. Di mana sebagai wadah komunitas nelayan perempuan yang sedang memperjuangkan hak – hak perempuan nelayan yang kondisinya saat itu terpuruk, terbelenggu budaya patriarki, jauh dari akses informasi, pendidikan, maupun ekonomi. Mereka tidak memiliki usaha alternatif, hanya menunggu tangkapan ikan dimana hasil laut tidak menentu.

“Perempuan nelayan dianggap tidak memiliki kesempatan berorganisasi dan berkegiatan di luar rumah. Kami mendirikan koperasi dengan iuran swadaya, mengolah produk hasil laut memanfaatkan ikan – ikan murah terbuang selama ini yang tidak mendukung pasaran produk – produk tangkapan nelayan, jadi kami mengolahnya menjadi produk hasil laut yang memiliki nilai jual. Mendorong ekonomi perempuan nelayan,” terangnya.

Perjuangan Puspita Bahari, lanjut Masnuah, tidak hanya selesai di tantangan belenggu budaya, namun posisi nelayan perempuan yang tidak diakui secara profesi, identitas, yang kenyataannya banyak perempuan beraktifitas melaut masih dianggap Ibu Rumah Tangga (IRT) di KTP. Sedangkan mereka juga membutuhkan perlindungan saat melaut dimana pasti mengalami risiko di tengah laut.

“Saya banyak bertemu perempuan nelayan tidak hanya di Demak atau di Jawa, melainkan juga bertemu dengan perempuan nelayan dari Kalimantan, Maumere, Lampung, Makasar, Sulawesi dan lain sebagainya, rata – rata mereka belum terdata atau diakui sebagai profesi perempuan nelayan,” ujarnya.

Pada tahun 2017, Masnuah menuturkan pihaknya berjuang satu tahun untuk mengubah identitas pekerjaan perempuan nelayan yang sebelumnya berstatus IRT, menjadi nelayan.

“Hal ini penting, karena tanpa diakui data profesi perempuan nelayan, mereka tidak akan mendapatkan perlindungan yang sama seperti yang didapatkan nelayan yang selama ini identik disebut dari laki – laki pekerja nelayan,” jelasnya.

Tidak berhenti di situ, Masnuah pun menyampaikan bahwa proses perjuangan perubahan identitas di tahun 2017 selama satu tahun itu tidak mudah karena ada hambatan dari pemerintah desa, tokoh masyarakat, juga ada pemangku kebijakan yang tidak mendukung perjuangan tersebut. Hal ini karena anggapan perjuangan itu adalah perbuatan yang tidak pantas, karena melawan kodrat.

Dengan demikian hambatan itu sangat sulit dilalui dalam perjuangan merubah profesi dalam KTP identitas mereka. Ia menambahkan, meskipun perjuangan itu sulit, tapi tidak mengkhianati hasil yakni, di tahun 2017 itu pula pertama kali profesi nelayan perempuan itu diakui di Demak sejumlah 31 perempuan nelayan.

“Di tahun 2019 pun kami masih berjuang, tidak hanya sebatas di adanya pengakuan di KTP, namun kami terus berjuang untuk mendapatkan perlindungan asuransi perempuan nelayan yang dimana waktu itu diserahkan langsung oleh Ibu Susi Pudjiastuti yang saat itu merupakan menteri kelautan dan perikanan kepada 31 perempuan nelayan di tempat kami,” pungkasnya.

Dikatakan Masnuah, ada banyak ketimpangan dengan kondisi nelayan perempuan. Antara lain, belum ratanya perlindungan di seluruh pesisir Indonesia untuk mengakui perempuan nelayan, bantuan yang tidak tepat sasaran, bahkan ada banyak akses yang terputus dimana perempuan nelayan maupun keluarga pesisir itu harusnya mendapat bantuan sosial namun itu tidak sampai, karena data yang kurang ataupun akses yang tidak bisa masuk.

“Bantuan yang tidak tepat sasaran, kadang kurang mendukung kegiatan – kegiatan perempuan nelayan di Indonesia saat musim paceklik. Krisis iklim, dimana akses yang terputus itu mempengaruhi harga ikan anjlok. Dan nalayan tidak memiliki posisi tawar harga ikan seperti harga pertanian yang diumumkan secara publikasi, sehingga kami hanya bisa pasrah,”tukasnya.

Perempuan nelayan tidak hanya membutuhkan fasilitas bantuan sosial alat masak saja, menurut Masnuah, mereka juga membutuhkan fasilitas alat tangkap ikan, karena mereka beraktifitas menangkap ikan di laut. Masnuah berharap Regsosek dapat membantu memulihkan kondisi perempuan nelayan maupun masyarakat pesisir Indonesia.

“Mendengar kata Regsosek, ini mungkin akan menjadi awal kesejahteraan kami para perempuan nelayan dan warga pesisir lainnya. Ketika kami sudah didata, kami berharap perlindungan perempuan nelayan terwujud tidak hanya di Demak melainkan di seluruh pesisir Indonesia, kami pun berharap respon terhadap isu – isu perempuan nelayan dan masyarakat pesisir secara umum akan lebih baik," imbuhnya.(vin/s)

#Regsosek