Kamis, 2 Mei 2024

Humas Indonesia Gelar GPR Conference, Diskusikan Kelayakan Posisi Humas pada Eselon I

Diunggah pada : 22 Februari 2024 22:39:35 51
CEO Humas Indonesia, Asmono Wikan saat memberi sambutan pada Government Digital Public Relation (GPR) Conference dengan tajuk “Layakkah Humas berada di eselon I?”, di Grand Sahid Jaya Jakarta, Kamis (22/2/2024). Foto: sti JNR

Jatim Newsroom - Humas Indonesia mengadakan Government Digital Public Relation (GPR) Conference dengan tajuk “Layakkah Humas berada di eselon I?”, di Grand Sahid Jaya Jakarta, Kamis (22/2/2024). Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan tentang bagaimana dan sudah sampai manakah posisi serta peran GPR di sebuah lembaga. 

CEO Humas Indonesia, Asmono Wikan, menyebutkan, bahwa ide tajuk tersebut bukan bermaksud menjadi sebuah goals dari diskusi, melainkan untuk meyakinkan kalangan insan humas pemerintah bahwa GPR sesungguhnya bisa naik level dengan dukungan kompetensi serta dukungan dari pimpinan. 

Asmono Wikan juga menyampaikan bahwa selama ini GPR memiliki posisi dan peran strategis di sebuah lembaga, namun seringkali dirasa hanya sebagai pendukung dan belum saatnya untuk menaikan levelnya, sehingga berdampak pada minimnya anggaran kegiatan kehumasan. 

"Hasil dari conference ini akan kami bawa ke daerah selanjutnya didiskusikan dengan para pimpinan lembaga/instansi dengan didukung oleh Kementerian Kominfo. Dengan demikian, hasil conference ini bisa menjadi langkah-langkah kecil yang kemudian menjadi gelombang besar bagi GPR untuk mendapat posisi strategis," ujarnya. 

Wakil Menteri Kominfo RI, Nezar Patria, berpendapat bahwa profesi GPR sebetulnya mengalami disrupsi teknologi, dan penting dipahami terutama dalam pengaruh digitalisasi. Menurutnya, saat ini sumber-sumber informasi tidak lagi dikuasai oleh satu sumber saja, namun masyarakat telah menguasai dari berbagai banyak sumber atau kanal. Bahkan mereka sekaligus menjadi produsen informasi.

"Hal ini menjadi tantangan GPR sekaligus mengubah cara kerja mereka dalam membangun strategi komunikasi," katanya.

Nezar mengatakan, seorang GPR juga harus memahami soal political risk. "Jika dulu political risk menjadi urusan negara, tetapi sekarang justru yang ditakuti adalah respon di media sosial. Sebab media sosial bisa menaikan dan menjatuhkan seseorang, bahkan menurunkan harga saham atau pun menutup suatu perusahaan," terangnya.

Selain itu, urusan GPR tidak hanya berhubungan dengan media-media arus utama dan tidak hanya membangun media relation, tetapi justru harus mampu memainkan sentimen di media sosial, serta  memainkan news value-nya. "News politic menjadi landscap media sosial saat ini," ucapnya.

Lebih lajut dikatakan, saat ini pemerintah juga menghadapi krisis kepercayaan di masyarakat, dan hal ini merupakan tantangan GPR, karena sumber-sumber informasi kini tidak bisa lagi dimonopoli negara. Di sinilah perlu disadari bahwa pesaing utama GPR bukan media arus utama, melainkan media sosial. Sebab perubahan signifikan media arus utama/mainstream setelah 15 tahun lalu adalah bahwa media arus utama/mainstream saat ini kehilangan audiencenya.  "Justru dengan digitalisasi di masyarakat GPR bisa tau siapa audiencenya," jelasnya.

Dikatakan Nezar, seorang GPR harus bisa memperluas avarage kapasitanya. Antara lain, pertama, adaptif dengan perkembangan saat ini. Kedua, strategi-strategi baru harus dilakukan dan tau betul karakter platform media sosial, bahkan karakter pelaku media sosial. Ketiga, mampu membangun hubungan dengan media arus utama/mainstream. (red)

#Pranata Humas #Humas Indonesia