Jatim Newsroom– Belakangan ini kandungan Bisphenol-A (BPA) pada galon tengah menjadi perbincangan hangat. Konon katanya kandungan ini berbahaya terhadap kesehatan. Tetapi keberadaan galon yang mengandung BPA ini masih bebas beredar.
Menanggapi hal tersebut, pakar farmasi Universitas Airlangga (Unair), Prof Junaidi Khotib SSi MKes PhD Apt angkat bicara. Prof Junaidi mengatakan bahwa polemik mengenai galon yang mengandung BPA ini telah terjadi sejak lama. “Sebenarnya polemik ini pada 2020 lalu sudah ramai,” katanya,di Surabaya, Selasa(10/10/2023).
Prof Junaidi menjelaskan bahwa BPA ini merupakan senyawa sintesis yang menjadi komponen pembentuk polimer polikarbonat. Apabila senyawa BPA bereaksi dengan senyawa difenil karbonat maka akan bertransformasi menjadi polikarbonat. Senyawa ini bisa menjadi pilihan karena dapat menciptakan kemasan plastik yang kuat.
“Komponen BPA pada plastik polikarbonat akan mampu mempertahankan bentuk dan menjaga agar tidak mudah mengalami kerusakan,” jelas Dekan Fakultas Farmasi Unair itu.
Kandungan BPA dalam polikarbonat ternyata dapat bermigrasi ke makanan atau minuman yang ada dalam kemasan tersebut. Peristiwa ini terpengaruh oleh paparan cahaya matahari, suhu yang tinggi, hingga perubahan keasaman air. Sementara itu polikarbonat ternyata dalam penelitian terbukti merupakan senyawa pengganggu sistem endokrin (endocrine disruptor).
Beberapa gangguan yang dapat terjadi pada sistem endokrin seperti diabetes melitus, kanker, tekanan darah tinggi, dan lainnya. Tak hanya itu, polikarbonat dapat menyebabkan gangguan fertilitas, gangguan mental, hingga tumbuh kembang anak.
Prof Junaidi menerangkan bahwa pemerintah Indonesia telah menetapkan ambang batas senyawa BPA yang terlepas dari galon adalah tidak lebih dari 0,6 ppm. Tapi angka ini masih cukup tinggi jika membandingkan dengan negara Eropa. European Food Safety Authority (EFSA) menetapkan batas senyawa BPA yang terlepas kurang dari 0,05 ppm.
Lebih lanjut, asupan harian yang bisa tubuh toleransi adalah kurang dari 0,0002 mikrogram/kg/hari. Penurunan ambang batas senyawa BPA yang terlepas dapat menjadikan makanan atau minuman lebih aman.
Sementara apabila sudah terlanjur menggunakan galon yang mengandung senyawa BPA, tidak menjadi masalah besar jika tidak mengalami gangguan tubuh. Tetapi penggunaan galon yang tidak mengandung senyawa BPA merupakan investasi kesehatan jangka panjang.
“Tidak apa-apa jika tidak mengalami gangguan karena itu perlu paparan jangka panjang. Namun, tidak ada kata terlambat untuk menjaga kesehatan lebih baik,” tutur Anggota ahli Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu.
Menurut Prof Junaidi bahan pembuat wadah plastik yang aman saat ini adalah Polietilen Tereftalat (PET). Bahan ini bisa membuat wadah plastik tetap kokoh dan stabil. Wadah plastik yang mengandung BPA dapat terdeteksi dengan keterangan siklus yang bernomor 7 pada botol. “Kalau nomor satu jelas PET. Wadah plastik dengan keterangan siklus nomor satu itu aman, kalau tujuh mengandung berpotensi mengandung BPA,” terangnya.
Prof Junaidi turut mendorong pemerintah untuk memberikan label terkait produk yang mengandung BPA. Ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan bagi masyarakat. Meski demikian, upaya ini tidak meniadakan penggunaan BPA.
“Upaya ini bukan untuk meniadakan BPA tapi mengatur penggunaannya sehingga keamanan masyarakat bisa terjaga. Utamanya dalam tumbuh kembang, sebab kualitas anak masa depan yang menentukan adalah kualitas mereka saat ini,” paparnya.
Prof Junaidi berpesan kepada masyarakat untuk bijak dalam memilih makanan dan minuman sehari-hari. Salah satu yang menjadi indikator pendukungnya adalah informasi yang cukup tersampaikan kepada masyarakat. Selain itu pelaku industri mempunyai tanggung jawab secara sosial.
“Pelaku industri tidak hanya memproduksi komoditas tapi punya tanggung jawab sosial. Tanggung jawab mereka memberikan informasi secara lengkap bahwa produknya mengandung polikarbonat yang dapat melepaskan BPA,"tukasnya. (mad/hjr).