Jumat, 19 April 2024

RESAH PENEBANGAN HUTAN, AKTIVIS LINGKUNGAN AWASI PABRIK KAYU

Diunggah pada : 13 Mei 2011 11:43:06 33
thumb


    Seringnya penebangan hutan di sejumlah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) di Jatim yang tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan, membuat resah jaringan independen pemantau hutan. Terkait keresahan itu, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Surabaya selaku koordinator pemantau inidependen hutan di Jatim kini tengah mengawasi sejumlah industri kayu.
    Direktur Ecoton, Prigi Arisandi, Jumat (13/5) mengatakan, dilakukan pengawasan selain untuk mengetahui asal mula bahan baku yang mereka produksi, pengawasan juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah industri kayu itu telah mengantongi ijin dan sertifikasi dari Badan Lingkungan Hidup (BLH).
    Pengawasan dilakukan karena dari sejumlah pantauan tim jaringan independen, banyak kawasan hutan di sejumlah KPH yang dicurigai proses penebangannya tidak melalui proses lelang dalam bentuk gelondongan. Industri-industri kayu disinyalir mereka membeli kayu dalam bentuk ijon atau belum ditebang. “Padahal sesuai ketentuan, lelang kayu hanya dapat dilakukan dalam bentuk gelondongan, bukan dalam bentuk kayu tegaan,” katanya.
    Dari pantauan di sejumlah KPH seperti di Wonosalam, Jombang, dan Mojokerto, banyak kegiatan penebangan hutan yang tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan. Proses penebangan kayu kebanyakan telah diborong oleh sejumlah industri kayu yang tidak memerhatikan faktor ramah lingkungan.
    Ditambahkannya, pelibatan masyarakat sekitar hutan, selain sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi berbasis lokalitas, juga untuk menghargai budaya masyarakat setempat. Karena mereka lebih atau dampak yang ditimbulkan jika kayu sekitar wilayahnya ditebang. “Lagi pula, mereka telah memiliki sistem penebangan hutan yang ramah lingkungan,” katanya.
    Sebelumnya, maraknya penyelundupan kayu (illegal trade), membuat para pengusaha eksportir kayu meminta kejelasan mengenai sertifikasi legalitas kayu. Kabarnya, sejak 2009 pemerintah telah menuangkan peraturan legalitas melalui Peraturan Menteri Kehutanan P38/Menhut-II/2009 mengenai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Namun, hingga kini, peraturan tersebut tidak jelas realisasinya.
    Jaminan legalitas produk kayu dibuktikan dengan adanya sistem yang dibangun dalam pergerakan kayu, mulai dari hutan sebagai sumber kayu, industri sebagai produsen produk kayu, hingga ke pemasaran hasil olahannya.
Atas tuntutan tersebut, industri harus dapat memberikan jaminan kepada konsumen bahwa bahan baku kayu yang digunakan berasal dari sumber yang legal. Sertifikasi merupakan salah satu sarana untuk memberikan jaminan legalitas produk kayu, sehingga produk tersebut dapat diterima pasar internasional.
    Uni Eropa sebagai salah satu negara tujuan ekspor utama produk-produk kayu Indonesia melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan pemerintah Indonesia, mensyaratkan hanya produk kayu legal yang boleh diekspor ke Eropa. Sementara Amerika Serikat, dengan penerapan amandemen Lacey Act, mensyaratkan adanya pernyataan dari importir yang menyatakan bahwa hanya kayu legal yang diimpor.
    Pembalakan liar yang masih terjadi karena praktik korupsi dan buruknya manajemen kehutanan. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diharapkan dapat mereduksi transaksi kayu ilegal. (jal)

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait