Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur akan melakukan tes urine kepada para jaksa se Jatim. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan serta menjamin bahwa seluruh jajaran Korp Adhyaksa bebas dari narkoba.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim, M Farella saat ditemui di kantornya, Rabu (10/11) mengatakan, tes tersebut rencananya akan dilakukan secara berkala dan akan dilakukan pertama kali di lingkup Kejati Jatim yang terdiri dari 270 Jaksa.
Tes ini bertujuan untuk mengetahui apakah anak buahnya positif pengguna narkoba atau bukan. “Tes dilakukan berkala, pertama kali akan dimulai di Kejati sini. Jadwal tidak akan kita beritahukan, begitu selesai apel, maka para Jaksa akan kita giring untuk dilakukan tes urine,” ujarnya saat didampingi oleh Kasi Penkum dan Humas Kejati Mulyono.
Sementara itu, Kasi Penerangan Hukum dan Humas, Kejati Mulyono mengatakan, tes urine merupakan program utama untuk menciptakan jaksa bersih dari penggunaan obat-obatan terlarang.
Terkait kendala tidak melaksanakan tes urine secepatnya, ia mengungkapkan bahwa kegiatan itu tak dimasukkan ke dalam program belanja Kejati Jatim tahun ini. Di samping itu, tambahnya, setiap orang yang mengikuti tes urine akan dikenakan biaya Rp 125 ribu.
Karena tak mungkin mewajibkan anak buahnya untuk membayar sendiri dan tak dimasukkan dalam program belanja, maka pihaknya akan meminta bantuan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim maupun Surabaya untuk memberikan diskon tes urine. “Tapi saya sudah koordinasi pada asbin (asisten pembinaan) untuk memanfaatkan askes yang dimiliki anggota. Jadi kita upayakan agar tes tersebut yang menanggung Dinas Kesehatan,” ujar.
Tindak lanjut dari pengadaan tes urine tersebut akan dilaporkan ke pengawasan. Artinya, apabila ada anggota yang urine-nya terbukti positif mengandung narkoba, maka akan diperiksa oleh bidang pengawasan yang selanjutnya akan diproses sesuai aturan yang berlaku.
Hentikan Penyidikan Gratifikasi
Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur akan menghentikan penyidikan terhadap kasus gratifikasi di DPRD Kota Surabaya terkait persetujuan tentang APBD 2010.
Asisten Intelejen (Asintel) Kejati Jatim, Indro Joko Pramono saat ditemui di Kejati Jatim, Rabu (10/11) mengaku kesulitan untuk membuktikan dugaan kasus. "Kalau baca berita di media massa, gratifikasi itu seakan-akan benar adanya. Namun, ketika hendak kami ungkap tidak ada yang bisa dijadikan barang bukti," ujarnya
Namun, pihaknya saat ini masih terus menelaah kasus ini dan mencari bukti-bukti terkait lainnya dalam kasus ini. Berdasarkan bahan keterangan yang dikumpulkan, saat ini belum ada satupun keterangan yang membenarkan adanya gratifikasi tersebut.
Maka itu, ia mengimbau pada pihak-pihak yang mengetahui kalau menemukan bukti bisa diberitahukan. Dalam laporan ini, Kejati sudah memintai keterangan beberapa saksi.
Kesulitan penyelidikan ini, ia mengatakan karena kasus tidak tertangkap tangan. Ini berbeda dengan kondisi saat pertama kali kasus ini meledak sekitar September lalu. Saat itu Kejati membentuk tim yang melibatkan beberapa jaksa di lingkungan Kejati Jatim dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya guna menyelidiki kasus ini.
Sebelumnya, ada laporan yang masuk ke kejaksaan Tinggi Jawa Timur, bahwa ada laporan dugaan kasus gratifikasi yang terjadi di DPRD Surabaya. Dana sebesar Rp 500 juta tersebut diberikan pada sejumlah anggota dewan untuk memperlancar pengesahan RAPBD 2010. (pca)
Tidak ada berita terkait