Sabtu, 20 April 2024

DISBUDPAR KIRIM LIMA SASTRAWAN KE LAMPUNG

Diunggah pada : 1 Oktober 2010 15:34:39 10
thumb

    Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur, mengirim lima sastrawan untuk mengikuti pertemuan nasional “Sastrawan Sepuluh Provinsi” di Lampung 1-3 Oktober 2010.
    Kepala Disbudpar Jatim,  Dr H Jarianto MSi didampingi Kepala Bidang Budaya Seni dan Perfilman Bagus Purnomo SH MSi di kantornya, Jumat (1/10) mengatakan, lima sastrawan yang dikirim adalah Cahyo Widarmanto (Ngawi), Giryadi (Surabaya), M Fauzi (Sumenep), Cahyono Widianto (Ngawi), dan Dodi Kristianto (Surabaya).
    Dalam pertemuan nanti, kelima sastrawan akan mengumpulkan karyanya untuk dijadikan satu dengan karya perwakilan dari provinsi lain. “Karya mereka akan dibukukan bersama dengan karya sastrawan lainnya,” kata Jarianto.
    Dikatakannya, pertemuan ini merupakan pertemuan rutin tahunan yang dilakukan tahun 2010, Lampung menjadi tuan rumah temu sastra 10 provinsi yang tergabung dalam Forum Kerja Sama Mitra Praja Utama. Ini program tetap pemprov di bawah kendali Disbudpar setiap provinsi, setelah sebelumnya di Banten, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Panitia pelaksananya adalah sastrawan (melalui DKL). Sastrawan, akademisi, kritikus, plus wartawan dari 9 provinsi lain akan tandang ke Lampung.
    Jika tidak ada perubahan tahun depan Jatim akan menjadi tuan rumah Temu Satra 2011. “Ini momentum kita untuk mempromosikan seni budaya Jawa Timur agar semakin dikenal,” tuturnya.
Menurutnya secara langsung atau tak langsung Lampung akan ikut mempromosikan diri lewat karya sastra atau info jurnalistik. Ia percaya bahwa identitas sebuah daerah (dan bangsa) adalah seni-budayanya, serta pariwisata.
Dengan pertemuan rutin ini diharapkan kesenian akan semakin dikurung, sebab seni tradisi harus diberi porsi lebih. jika formula “membangun” kesenian selama ini adalah top-down (dari penguasa turun ke pelaku kesenian), bukan bottom-up (dari pelaku kesenian naik ke penguasa). Karena itulah pola harus diubah sehingga kebijakan pemerinta bisa berjalan seiring dengan keinginan seniman.
Lebih lanjut dikatakannya, sesenian itu dinamis, tidak statis. Dia akan bergerak, beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sah saja ada jargon atau semangat melestarikan tradisi. Sah saja mengkhawatirkan tradisi yang terancam punah di tengah arus globalisasi saat ini.
Namun, kebanggaan yang berlebihan dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap tradisi justru membuat tradisi itu makin tampak diperdaya. Bagaimana bisa melestarikan tradisi jika masih banyak seniman tradisi yang kesejahteraannya jauh dari layak, yang tak tercatat, tapi mereka tetap teguh berkesenian.
Tradisi itu ada karena diciptakan, dirawat, dipertahankan. “Jika sebuah sanggar tari membuat satu karya baru kemudian sepanjang waktu dipromosikannya dalam berbagai kesempatan tanpa melulu berorientasi profit, bisa jadi seabad kemudian karya itu pun akan dianggap sebagai tradisi,” katanya. (hjr)

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait