Jumat, 19 April 2024

PERMINTAAN TEMBAKAU OLEH PABRIK ROKOK TURUN 30%

Diunggah pada : 16 Maret 2009 15:47:53 54
thumb

Rencana permintaan atau kebutuhan tembakau oleh pabrik rokok (PR) besar di Jawa Timur dipastikan turun hingga 30% dibandingkan 2008. Tahun 2009, berdasarkan data kebutuhan tembakau oleh beberapa PR besar jumlah permintaannya hanya 51.005 ton atau 61.470 ha. Dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 76.045 ton atau 92.060 ha, jumlah tersebut relatif padahal pertahun rata-rata hasil produksinya berkisar 85.000-100.000 ton. Kepala Bidang Produksi, Dinas Perkebunan Jatim, Ir Muh Syamsul Arifin MMA di kantornya, Senin (16/3) mengatakan, permintaan terhadap tembakau beberapa tahun terakhir terus menurun rata-rata sebesar 4,9% akibat isu internasonal masalah pertembakauan, khususnya terhadap efek kesehatan dan pengaruh fatwa haram merokok di tempat umum, anak-anak, dan ibu hamil yang dikeluarkan MUI. Dikatakannya, setiap tahun secara umum realisasi areal tembakau di Jatim selalu melebihi dari kebutuhan PR. Akibat menurunnya jumlah kebutuhan tersebut, pemerintah bersama Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jatim menyosialisasikan pada petani agar ledakan penanaman tembakau yang selalu terjadi dalam tiap tahunnya tidak kembali terjadi. Tahun 2009, kemungkinan besar realisasi penanaman tembakau terjadi ledakan atau penambahan luas areal. Hal ini dikarenakan pada tahun 2008 harga jualnya membaik, sedangkan saat itu permintaan dan produksinya setara. Membaiknya harga jual tersebut, biasanya dijadikan budaya dan kebiasaan petani pada tahun berikutnya untuk kembali mengembangkan komoditas tersebut pada lahannya setelah digunakan untuk tanaman jagung. ”Agar tidak terjadi ledakan produksi, kini pemerintah lagi gencar melakukan sosialisasi pembatasan,” katanya. Adanya jumlah kebutuhan oleh PR yang turun dan kemungkinan ledakan produksi tembakau, menurunnya harga jual menjadi kekhawatiran pemerintah dan petani. Agar hal itu tidak terjadi, kini pertemuan antara PR dengan petani serig dilakukan. Hal itu dimaksudkan agar terjadi keserasian harga beli dan jual antar mereka. Ditambahkannya, selain permintaan oleh PR besar yang rata-rata turun, PR Bentoel tahun ini rencana tidak melakukan pembelian sama sekali. Namun Bentoel akan kembali mengevaluasi kebijakan tersebut pada Juni mendatang, karena saat ini ketersediaan tembkau mereka masih cukup. Meski permintaan PR besar turun, namun pemerintah dan petani masih memiliki harapan agar harga jual tidak jatuh, yakni mengandalkan PR kecil yang hingga kini di Jatim jumlahnya mencapai 1.000 pabrik. Dari rata-rata produksi mencapai 85.000-100.000 ton, 25-30% nya biasanya terserap oleh PR kecil. ”Meski kadang-kadang terjadi ledakan produksi, namun keberadaan tembakau pada akhir musim panen selalu habis,”ujarnya. Rincian kebutuhan tembakau oleh PR besar, meliputi jenis Virginia 5.800 ton dengan proyeksi lahan 7.250 ha, Jawa 10.285 ton pada lahan 11.317 ha, Kasturi 4.700 pada lahan 3.917 ha, Madura 17.800 ton pada lahan 29.667 ha, Paiton 9.000 ton pada lahan 6.923 ha, White Burley 3.370 ton pada lahan 2.247 ha, Lumajang Voor Oogst 150 ton pada lahan 150 ha. Sekretaris APTI Jatim, Abdul Hafid Aziz mengatakan, agar harga jual tidak jatuh, saat ini APTI Jatim bersama pengurus APTI kabupaten sedang gencar melakukan sosialisasi pada petani-petani di daerah. Sosialisasi juga kami khususkan pada petani sekelas pengusaha yang bermodal besar, dimana biasanya mereka setiap tahunnya banyak menyewa lahan untuk pengembangan tembakau. Petani sekelas pengusaha tersebut juga diminta agar mereka lebih melakukan kegiatan pembelian tembakau, dibandingkan pengembangan. Karena rata-rata mereka telah memiliki hubungan dengan beberapa PR besar dan kecil, lagi pula juga banyak yang memiliki gudang penyimpanan. Dikatakannya, setiap kali musim panen, petani tembakau selalu menjadi objek kebijakan pemerintah dan PR besar yang kurang menguntungkan, baik dalam penentuan harga beli maupun dalam hal pengembangan. Kontribusi petani pada pemerintah dari penghasilan pajak cukai pada tahun 2008 mencapai Rp 41 triliun dan tahun 2009 ditargetkan Rp 61 triliun.Tidak sebandingnya keberpihakan pemerintah pada petani dengan kontribusi yang dihasilkan oleh petani, seharusnya pemerintah menggantinya dengan memberikan proteksi pada petani yang juga menjadi aset negara. Isu-isu pertembakauan baik dalam hal pengaruh terhadap kesehatan dan lainnya, seharusnya dicarikan solusi kreatif yang tetap memihak pada petani. ”Karena mereka juga warga negara yang mengharapkan hidup sejahtera,” katanya.

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait