Sabtu, 20 April 2024

Blitar Selatan Sukses Tandur Kelapa Sawit

Diunggah pada : 2 Januari 2012 14:10:53 2973

Orang umumnya mengetahui kelapa sawit ditanam di Sumatera, Kalimantan, atau Sulawesi. Ternyata, meski bukan habitatnya, di Jawa pun kelapa sawit bisa tumbuh dan berbuah. Kelapa sawit kini ditanam rakyat di sepanjang tanah tandus di Blitar Selatan Jawa Timur.  Luasnya mencapai lebih dari 7.000 ha.

Dalam enam tahun terakhir, Blitar Selatan menggeliat mengibaskan stigma daerah tandus dan minus. Masyarakat berbondong-bondong bangkit melawan musim dengan menanam kelapa sawit. Sebuah aktivitas yang tadinya dinilai mustahil.
Pemikiran itu muncul dari H Masngut Imam Santoso, 67 tahun, setelah laki-laki asli Blitar ini diundang kerajaan Malaysia sebagai pembicara dari kalangan praktisi di dunia peternakan dan pertanian terpadu. Kala itu ia diajak melihat hamparan perkebunan sawit yang membuatnya kagum.
Dia pun bertanya-tanya, apakah kelapa sawit bisa tumbuh di Jawa yang bukan habitat idealnya? Di Kabupaten Blitar lahan seperti apa dan di mana yang cocok untuk ujicoba? Masngut pun segera memutuskan: wilayah Blitar Selatan!
Pikirannya sederhana, kalau kelapa bisa tumbuh, tentu kelapa sawit juga bisa. Persoalannya, apakah jika bisa tumbuh juga bisa berbuah dan bernilai ekonomi seperti di Sumatera dan Kalimantan. “Akh, itu masalah lain yang bisa dipecahkan belakang hari,” pikirnya.
Nah, lantaran tak ada kepastian nilai ekonomisnya, seluruh dinas perkebunan, bupati, hingga wakil rakyat hanya melihat gagasan ini sambil lalu. Tak ambil peduli, Masngut pun jalan terus. Disokong Marmin Siswoyo dan Ric Widodo rekannya yang sejak awal niat ingsung menjadikannya sebagai kerja nirlaba, kelapa sawit pun didatangkan dan ditanam. Harapan pun disederhanakan, bisa bertahan hidup di tengah tanah kering nan gersang pun cukuplah. Hidup sudah bagus, apalagi kalau mampu membuat hijau kawasan Blitar Selatan.
Masngut tak patah arang begitu melihat sederet daftar pantangan menanam pohon sawit. Justru ia makin rajin blusukan ke sudut-sudut pedalaman Blitar Selatan untuk sosialisasi. Menghimpun para petani yang memiliki lahan untuk diajak menanam sawit meski tak jelas benar sisi ekonomisnya di kemudian hari.
“Alhamdulilah tidak semua petani mau,” ujarnya setengah berkelakar separuh menyindir.
Ia maklum. Mereka rata-rata ragu karena tak melihat peluang ekonomisnya. Selebihnya mereka masih trauma dengan program tanam pohon jarak yang ternyata kemudian bodong di kemudian hari. Setelah jarak berhasil ditanam, tak ada yang membeli hasil tanam. Dan petani dibiarkan merugi.
“Tetapi itu tak masalah, saya hanya mengajak yang mau dan membuat perubahan,” tutur Masngut.
Berhasil menghimpun beberapa petani, ia pun lantas merogoh kocek untuk mendatangkan benih kelapa sawit bersertifikat di Balai Benih Sawit di Medan. Satu poliback benih berada di harga 20 ribu rupiah di tahun 2006. Untuk tahap pertama itu ia mendatangkan 10 ribu benih dan kemudian disusul dengan pembelian benih tahap kedua sejumlah 20 ribu. Benih-benih kemudian dibagi gratis kepada para petani yang memiliki lahan dan mau menanam. Tak hanya itu, Masngut juga menyertakan biaya perawatan dan pembelian pupuk.
Hingga sejauh itu hanya 25 persen benih yang mati, selebihnya tumbuh subur nan menghijau. Termotivasi dengan kesuburan si benih kelapa sawit, Masngut berturut-turut kemudian mendatangkan benih dalam jumlah lebih besar. Masing-masing 430 ribu, 500 ribu, hingga yang terakhir 2 juta benih. Kurun waktu 6 tahun terakhir atau sejak 2006, benih-benih sudah ditanam di lahan milik rakyat tak kurang dari 80 ha dengan melibatkan ribuan petani di lima kecamatan di wilayah Blitar Selatan. Yang mencengangkan, kini 350 ribu pohon yang ditanam pada tahap pertama mampu berbuah dengan sempurna seperti kelapa sawit di habitat aslinya.
Lebih bahagia lagi adalah petani yang secara sukarela menanam kelapa sawit. Terhitung sejak 2 Mei 2011 lalu, pohon-pohon sawit di lahan rakyat itu dihibahkan kepada para petani yang menanamnya. “Silakan dirawat dan dan diambil hasilnya secara maksimal. Kami tidak meminta secuil pun. Kami sudah cukup puas bisa mengorganisasi penjualan panen. Atau nanti membeli hasil panen sesuai harga pasaran nasional jika sudah memiliki pabrik CPO sendiri,” kata Masngut.
Ya, seperti bayi ajaib, benih sawit itu ternyata mampu tumbuh dengan baik. Bertambah besar dan yang menakjubkan berbuah laiknya di habitat aslinya. Ujicoba laboratorium soal persawitan juga tak kalah mengejutkan. Untuk jenis Tenera kandungan minyak nabati normalnya adalah 24,8% sedang yang di Blitar Selatan 20%. Jenis Dora kandungan minyak nabati normalnya adalah 8,4%  sementara sawit milik rakyat Blitar Selatan ini mencapai 19,9%. Simpulannya kelapa sawit Blitar Selatan sangat layak dan memenuhi syarat untuk diproduksi.

Menebar Syukur
Sujianto, 40 tahun, warga Dusun Galigambang, Panggungrejo, yang sejak awal antusias menanam sawit kini tak hentinya menebar syukur. Sawit di ladangnya yang sekitar 1 Ha itu menjadi penopang hidup baru bagi keluarga besarnya. Ia termasuk generasi pertama yang sudah menikmati hasil panen sawit.
“Kalau dulu, lahan 1 Ha itu mendapatkan hasil 200 ribu rupiah dalam setahun saja sudah sangat syukur alhamdulilah. Itupun harus bekerja sepanjang hari tanpa henti. Sekarang nilai itu bisa dicapai hanya dalam 15 hari untuk 1 pohon kelapa sawit tanpa harus menggancu tanah sepanjang waktu,” katanya haru. (widi a kamidi)


Sawit Awalnya Tanaman Hias
Tanaman kelapa sawit yang memiliki nama latin elaeis guineensis sesungguhnya berasal dari negeri Afrika Barat. Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848. Saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang ditanam di Kebun Raya Dbogor (Botanical Garden) Bogor. Dua batang berasal dari Bourbon (Mauritius) dan dua lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda.
Awalnya tanaman kelapa sawit dibudidayakan sebagai tanaman hias, sedangkan pembudidayaan tanaman untuk tujuan komersial baru dimulai pada tahun 1911.
Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia. Budidaya kemudian dilakukannya oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera Deli dan Aceh.
Habitat asli sawit adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memperngaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.
Terdapat dua jenis kelapa sawit yang dibudidayakan yaitu  elaeis guineensis dan elaeis oleifera. Jenis pertama adalah yang pertama kali dan terluas dibudidayakan orang. Elaeis oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik. Namun penangkar seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang yang terdiri dari Dura, Pisifera, dan Tenera.
Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948/1949. Padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit.
Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan. Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap jenjang manejemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manejemen dalam perkebunan dan kondisi social politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR–BUN).
Luas areal tanaman kelapa sawit terus berkembang dengan pesat di Indonesia. Hal ini menunjukkan meningkatnya permintaan akan produk olahannya. Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia antara lain ke Belanda, India, Cina, Malaysia dan Jerman, sedangkan untuk produk minyak inti sawit (PKO) lebih banyak diekspor ke Belanda, Amerika Serikat dan Brasil. (widi a kamidi)

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait